Sabtu, 08 Juni 2013

Belajar dari jejak Tsunami

Cerita ini merupakan kelanjutan dari cerita kunjunganku ke Banda Aceh sebelumnya. Kenapa dibuat terpisah, karena perjalanan 3 hari ini sebetulnya tidak ada hubungannya dengan kegiatan mengajar di Toko Bogor. Kali ini murni jalan - jalan bersenang - senang *nyengir*. 

Saat mendengar aku mau ke banda Aceh, Papaku antusias, pengen maen juga Ke Banda. Jadilah beliau datang ke Aceh bersama adikku Tanti, pada hari ke - 6 aku di Banda. Udah diatur nih ceritanya, mereka datang saat aku sudah selesai urusan mengajar. Jadwal landing pesawat Papa dan Tanti jam 12.30, membuatku santai pagi itu di hotel. Bosan dengan sarapan di hotel, aku berjalan kaki menuju Pasar Peunayong menuju deretan warung penjual sarapan. Warung – warung ini sebelumnya sudah aku lihat saat aku melihat – lihat pasar tempo hari. Pilihanku jatuh pada Warung Lontong Sayur Bu Nas, tepat di pertigaan pasar Peunayong – Rex. Rex adalah pusat jajan serba ada yang baru ramai pada saat malam hari.

Di warung Bu Nas, aku memesan Lontong Sayur. Lontong Sayur yang tersaji ternyata Lontong Sayur versi Medan. Aku tahu karena makanan ini favoritku saat ke Medan atau pulang kampung ke mertua di Labuhan Batu. Lontong, Gulai Sayur, Taoco Udang tahu, Keripik Kentang Tempe, Balado Telur, dan tambahan bumbu Rendang. Oh astaga, pagi itu Banda jadi terasa makin indah karena sajian lontong di depanku ini. Rasanya? Jangan tanya, enaaaaak banget. Kata orang melayu, lomak nian! Setara rasanya dengan Lontong Medan kak Lin  yang ramai pembeli di depan SMA 1 Medan daerah Kampung Keling. Pantas saja kalau warung lontong bu Nas ini  ramai sekali pembelinya.


Selesai sarapan lontong, aku kembali ke hotel untuk bersiap chekout sambil menunggu jemputan. Pagi itu  aku  dijemput mantan anak buah papaku dulu. Setelah checkout dari Hotel Medan, aku bergerak ke hotel Hermes di daerah Ule Kareng. Pindah hotel ini menyesuaikan dengan papaku, maklum lah.. hehhehe. 


Urusan di hotel Hermes selesai, aku bergerak menuju bandara untuk jemput Papa dan Tanti. Pesawat mendarat tepat waktu, pukul 12.30 lewat sedikit aku sudah bertemu keduanya. Dari bandara kami langsung menuju markas Kodam Iskandar Muda, di mana kebetulan sang Panglima Kodam adalah adik kelas papaku. Temu kangen diantara mereka berlangsung hangat, karena sudah lama nian tidak bersua. Di ruangan kerja beliau kami juga dijamu dengan makan siang lezat seperti Ayam Tangkap, Gulai Kambing, dan beberapa lauk lezat lainnya. Terimakasih ya Om.. :)

Dari markas Kodam, kami melanjutkan perjalanan menuju Masjid Baiturrahman, sekalian untuk sholat. Setelah sebelumnya aku kunjungi masjid megah ini di malam hari, akhirnya bisa menikmati keindahannya di siang hari. Luar biasa memang masjid ini. Mengisyaratkan keanggunan tak terbantahkankan. Mulai dari arsitekturnya , suasananya, juga sejarah panjangnya. Masih lekat di ingatanku pemberitaan seputar bencana besar Tsunami yang menimpa tanah Aceh. Gelombang air laut yang menghantam kota Banda, surut di batas pagar Masjid ini. Meskipun juga terkena dampak banyaknya sampah disekitarnya, namun Masjid ini tetap kokoh berdiri memberi perlindungan pada warga. Subhanallah. 










Sampai kini, Masjid Baiturrahman tetap megah berdiri. Bersih dan tertata rapi. Seneng deh melihatnya. Sayang karena saat itu sedang tidak suci, jadi tidak bisa masuk ke dalam Masjid.  Cukup foto - foto di luar saja :P




Selepas dari masjid kami langsung diajak menuju lokasi mendaratnya PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) - Apung, yang pada saat bencana Tsunami Desember 2004 lalu bergeser dari tempatnya di laut didorong gelombang Tsunami menuju daratan sejauh 5 km.  Tepatnya di Gampong (Kampung) Punge Blang Cut, Banda Aceh. PLTD Apung yang sangat besar ukurannya ini terdorong dari lautan dan menghancurkan ratusan rumah di sekitar pantai. Membayangkan kejadiannya saja sudah sangat mengerikan. Entah bagaimana dasyatnya kejadian sebenarnya.



Di lokasi ini dibangun monumen Tsunami sebagai lambang peringatan kejadian maha dasyat itu. Tertera juga daftar korban yang bisa tercatat. Membaca nama demi nama korban membuat bergidik. Bagaimana jika diantara mereka ini adalah satu keluarga utuh ya, habis rumahnya rata dihantam tsunami. Huhuhuhu sedih banget.




Eks PLTD Apung ini bisa kita naiki hingga bagian atasnya. Dari sini kita bisa melihat pemandangan yang luar biasa indah. Selain laut bagian utara pulau Sumatera, puncak gunung Seulawah pun bisa terlihat dari bagian tertinggi PLTD ini. Diantara terpaan angin , kita juga bisa melihat tatanan pemukiman rumah penduduk yang rapi dan asri. Tak nampak terlihat bahwa di daerah sini dahulu pernah sangat porak poranda. Subhanallah, Alhamdulillah. Betapa Allah mengganti apa yang telah hilang, dan memberi ketabahan pada keluarga yang masih bertahan hingga kini. 


Dari gampong Blang Cut kami bergerak menuju Pantai Lampuuk. berjarak kurang lebih 20 km dari pusat kota Banda Aceh.  Pantai ini termasuk pantai yang landai, namun dikelilingi beberapa bukit bertebing. Ombak berdebur tenang, meski angin bertiup cukup kencang. Saat aku kesana, sudah tidak terlalu banyak pengunjung di pantai ini. Mungkin karena hari sudah menjelang sore. 

Dahulunya di sepanjang pesisir pantai, banyak terdapat pemukiman penduduk khususnya kaum nelayan. Pada saat Tsunami, perkampungan penduduk ini habis rata terhantam gelombang air raksasa . Rata, tak bersisa. Pantai Lampuuk ini termasuk saksi bisu kedasyatan bencana saat itu.


Saat kami kesana pun, tidak ada lagi bekas - bekas pemukiman. Pantai bersih rapi, polos. Seakan tidak ada jejak masa lalu yang kelam. Tapi justru keheningan dan kesyahduan pantai Lampuuk di daerah Lhok Nga ini membawa kita pada kenangan perih itu. Debur ombak yang sayup saling tindih dengan deru angin, seperti mengiringi keperihan itu. Tapi biru laut dan hijau pepohonan seakan menyirat sebuah harap, bahwa semua akan baik - baik saja. 




Di beberapa lokasi sepanjang garis pantai Lampuuk terdapat gubuk - gubuk kayu beratap rumbia yang disediakan untuk pengunjung yang ingin beristirahat atau berteduh. Biasanya ada yang berjualan air kelapa dan beberapa makanan lain. Tapi karena waktu yang sempit, hanya sekitar 15 menit saja kami di pantai ini, untuk segera kembali lagi menuju Banda. Semoga lain kali bisa lebih lama lagi menikmati Lampuuk.



Sebelum kembali ke hotel , kami sempatkan mampir ke Museum Tsunami. Bangunan megah menyambut kami. Arsitekturnya unik, dari luar terlihat futuristik. Museum ini baru diresmikan tahun 2012 lalu. bangunan ini terdiri dari 4 lantai. Masuk ke sini, seakan bisa menyeret kita pada kedukaan mendalam akan bencana Tsunami. 

Saat mulai memasuki bangunan, terdapat "bangkai" helikopter yang sudah rusak berat. Heli ini dipakai polisi untuk patroli udara, namun hancur juga dihantam gelombang. Masuk ke bagian dalam,  kita akan diantar  menyusuri lorong berdinding gelap yang panjang setinggi 6 - 12 meter dengan lebar lorong hanya sekitar 1 m saja. Lorong ini menggambarkan betapa menyeramkannya saat gelombang raksasa itu datang, manusia tak punya peluang apa - apa. Sesekali memercik air juga dari bagian atas. Suasana hati langsung tambah mencekam saat lantunan ayat Al Quran lamat - lamat diperdengarkan.  Yang terbayang di kepala adalah suasana kepanikan yang terjadi saat itu, dan kita manusia teramat kecil dibanding bencana ini. 





Dari lorong yang berbentuk sedikit melingkar seakan tak berujung ini, ini kita diantarkan menuju memorium hall, sebuah ruangan berbentuk lingkaran yang di keseluruhan dindingnya tertulis nama - nama korban Tsunami. Dinding hall ini makin ke atas makin mengurucut membentuk cerobong, yang pada saat kita menengadah ke atas terlihat secercah cahaya di mana juga bisa kita lihat kaligrafi bertuliskan ALLAH. Syyuuppp, hati jantung dengkul sendi tulang lemesss banget. Lewat memorium hall ini kita diingatkan bahwa hanya kepada Penciptanyalah manusia kembali. Hanya kepada Allah lah kita menghamba serta memohon pertolongan. Tak lupa di situ kami kirimkan doa kami buat arwah korban Tsunami agar tenang berada di sisi Allahu ya Rabb. Al Fatihah...




Keluar dari Memorium Hall, kita akan melihat jembatan yang di atasnya adalah bagian atap bangunan besar ini. Suasana jauh lebih cerah, seolah menggambarkan bahwa di balik setiap musibah, akan selalu muncul semangat dan harapan baru untuk semua. Jembatan ini juga merupakan simbol bagaimana masyarat Aceh tetap terus menatap kedepan, tidak larut dalam kesedihan, bangkit dari tangis pilu, menjadikan musibah sebagai pengingat bahwa sang Khalik lah satu - satunya pemilik hidup. Tugas  manusia di dunia hanyalah mencari keridhoan-Nya. 

Di atas jembatan ini , dipasang lambang bendera banyak negara yang turut serta berpartisipasi menggalang bantuan pada saat tragedi menyayat hati dunia itu. Bukan hanya dana materi, namun bantuan tenaga pun bertubi - tubi datang atas nama kemanusiaan.  Bahwa apa yang kita rasakan saat itu, pun turut dirasakan sahabat - sahabat kita yang lain. Kita manusia tidak pernah tahu semua rencana dan garis takdir Illahi. Dari sekian juta hikmah yang bisa diambil dari bencana ini, di sini kita belajar bahwa Indonesia dengan segala carut marutnya, bisa belajar tentang sebuah bencana yang bisa datang kapan saja. Walaupun terbukti banyak negara sahabat yang membantu, tapi kita pun mesti bersiap diri. Beginilah Museum Tsunami ini diperuntukkan. Untuk pengingat bagi yang masih hidup, sejauh apapun kita melangkah, kita tetaplah kecil sebagai makhluk. 
Perjalanan satu hari penuh ini begitu menguras emosi ku. Tak terkatakan memang. Tapi menggurat dalam. Sekali lagi Aceh mengajariku banyak hal. Dan aku tahu, kenapa Allah mengijinkan langkahku menghampiri bumi serambi Mekah ini. Untuk melihat lebih banyak. Untuk mendengar lebih banyak. Untuk membuka hati lebih lebar. Lalu kemudian belajar menunduk. Bahwa aku bukanlah siapa - siapa.

bersambung.....

Tidak ada komentar:

 

Pengikut